Nusa Utara – Setelah Irjen. Pol. (Purn.) Dr. Ronny Franky Sompie,SH. MH., mengunjungi sektor pariwisata dunia di Pulau Biaro dan menelisik keindahan peradaban Putri Lohoraung di Pulau Tagulandang menumpang Kapal Cepat Express Bahari pada beberapa hari yang lalu. Pemerhati Pariwisata Sulawesi Utara (Sulut) melanjutkan perjalanan menuju Pulau Kerajaan Siau dari Era Portugis – Spanyol dan Pulau Ringgit ala Soekarno serta tanaman Pala di Siau.
Ikon Pulau Siau
Saat Ronny Sompie mengunjungi Pulau Siau tepatnya di dermaga Pehe Siau Barat (Sibar) Kabupaten Kepulauan Sitaro. Selaku pengunjung perdana ke pulau ini, ia bersua lanskap dengan pemandangan yang menakjubkan sekaligus menakutkan. Sebab, terdapat kubah-kubah lava yang nampak menghitam dan kelabu, di bawahnya terhampar perkebunan pala yang luas dan subur.
Inilah Gunung Karangetang dengan berketinggian 1827 meter yang tegak bagai easel yang angkuh. Gunung ini adalah salah satu gunung api teraktif di dunia. Terdapat jutaan ton material pasir dan abu vulkanik bertengger di puncaknya. Itulah ikon pulau Siau, selain komoditas pala dengan kualitas terbaik dunia. Saat gunung erupsi, walau hanya beberapa saat suara gemuruh kawah akan terdengar seperti gumam yang kasar disusul semburan abu terlontar ke udara membayang-bayangi sekujur tubuh pulau. Kejadian ini sekaligus menyuburkan tanaman unggulan ini.
Presiden Soekarno dan Asal Usul Julukan Pulau Ringgit
Di era Presiden Soekarno, Siau dijuluki Pulau Ringgit karena kualitas dan kesuburan tanaman pala. Di pasar dunia, komoditas Pala Siau disebut King of Spices alias raja rempah-rempah. Delapan tahun paska-kemerdekaan, tepatnya Februari 1953, ketika Presiden RI Soekarno berkunjung ke pulau Siau, ia menjuluki Siau sebagai Pulau Ringgit karena keunggulan tanaman pala. Kekaguman Soekarno pada keunggulan komoditas pala Siau tentu sangat beralasan. Uni Eropa memberikan Geographical Indication bagi pala Siau dengan spesifikasi khusus.
Di lain sisi, Indonesia merupakan produsen kedua terbesar pala, gada rempah dan kapulaga di dunia setelah Guatemala, dengan produksi 32.700 ton dan luas lahan 157.800 (FAO,2014). Sisanya dihasilkan dari India, Malaysia, Papua Nugini, Sri Lanka, dan beberapa pulau di Karibia. Permintaan dunia untuk komoditas Pala Indonesia – terutama pala Siau– memang sudah berlangsung lama, bahkan menjadi incaran dunia, sejak jaman penjajahan. Selalu ada permintaan pala asal Indonesia untuk dikirim ke negara-negara luar, terutama Eropa.
Kemudian pada Peradaban Sejarah Siau dari Era Portugis – Spanyol. Kerajaan Siau, salah satu kerajaan nusantara. Eksis selama lebih 4 abad sejak berdiri pada 1510, dan berakhir pada 1956 setelah penguasa kerajaan ke-25, yaitu Presiden Pengganti Raja Siau Ch. David, mangkat. Mengutip tulisan Hubert Jacobs, S.J. yang terkenal dengan rangkuman serial sejarah wilayah Indonesia Timur Documenta Malucensia.
Ungkapan Hubert Jacobs itu dikarenakan Kompeni Belanda pernah sangat kesulitan mencaplok kerajaan Siau ke dalam lingkup kekuasaannya, karena kerajaan ini merupakan wilayah yang dilindungi Spanyol yang berpusat di Manila, di benteng Intramuros (Filipina). Daerah ini adalah salah satu kabupaten perbatasan Utara Indonesia ke wilayah laut negara Filipina.
Namun dalam catatan sejarawan Pitres Sombowadile, dalam kiprahnya, wilayah kerajaan Siau pernah mencakup daerah-daerah di bagian selatan Sangihe, pulau Kabaruan (Talaud), pulau Tagulandang, pulau-pulau teluk Manado dan wilayah pesisir jazirah Sulawesi Utara (kini Minahasa Utara), serta ke wilayah kerajaan Bolangitan atau Kaidipang (Bolaang Mongondow Utara) bahkan sampai ke Leok Buol.
Kerajaan ini dalam berbagai catatan Belanda dan sejarawan lokal di Manado, H.M. Taulu, disebut-sebut pernah mengusir armada Kerajaan Makassar yang menduduki wilayah Bolaang Mongondow. Tidak terhitung juga menghalau para armada perompak asal Mindanao .
Tempat mukim raja atau istana Kerajaan Siau ungkap Sombowadile, tercatat berpindah-pindah. Tahun 1510 saat didirikan oleh Raja Lokongbanua (1510-1549), kerajaan Siau dicatat berpusat di tempat yang bernama Kakuntungan.
Kakuntungan tulisnya kemudian berganti nama menjadi ‘Paseng’ pada tahun 1516, karena di tempat itu misi Katolik Portugis pernah singgah dan menyelenggarakan misa paskah yang dalam catatan bahkan pernah turut dihadiri Raja Lokongbanua. Tempat bernama Paseng itu masih ada hingga kini di bagian Barat pulau Siau
Meski Katolik sudah menggelar acara misa itu, namun tahun itu tidak serta merta disebut agama Katolik sudah dianut kerajaan ini. Karena dalam catatan Portugis nanti pada tahun 1563 agama itu dianut, yaitu oleh Raja Siau II Posumah (1549-1587). Agama ini dibawa oleh paderi Diego de Magelhaes dari Kesultanan Ternate.
Ide dan Gagasan Ronny Sompie terhadap Siau
“Jadi sejatinya torang bisa melahirkan ide cerdas untuk membangun Siau semakin hebat di masa depan melalui hasil kekayaan sumber daya alam di antaranya tanaman pala dan peradaban sejarah yang ada di Pulai Siau,” kata Putra Tonsea Minut kepada awak media. Rabu (09/08/2023).
“Paling tidak, Siau yang berpenduduk dengan pemegang hak pilih sekitar 20.000 Pemilih di saat Pemilu 2024 yang akan datang, bisa menentukan pilihan yang tepat siapa yang cocok untuk memimpin Provinsi Sulut dibantu 6 Anggota DPR RI pada tahun 2024 – 2029,” tutur Ronny Sompie.
“Ke arah itulah ide cerdas diarahkan, agar Siau bisa mendapatkan perhatian dari Pemprov Sulut didukung enam anggota DPR RI di sepanjang tahun 2024 – 2029.” pungkas Bacaleg Golkar Dapil Sulut Ronny Franky Sompie.
Leave a Reply